SUARASULAWESI.com, JOGJA — Angka pernikahan dini di Indonesia masih cukup tinggi di tengah risiko kanker leher rahim dan bayi stunting. Upaya terbaru diterapkan untuk menekan, melalui kerja sama Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) dan Kementerian Agama.
Strategi baru yang diterapkan BKKBN bekerja sama dengan Kementerian Agama ini diluncurkan di Yogyakarta, pada Jumat (11/3). Kedua lembaga sepakat untuk memberikan pendampingan, konseling dan pemeriksaan kesehatan, tiga bulan sebelum pasangan menikah.
Menurut Kepala BKKBN Hasto Wardoyo, jika selama ini petugas BKKBN, PKK, hingga Posyandu lebih banyak berperan, maka melalui program nasional ini, penyuluh agama juga akan diikutsertakan.
“Peran penyuluh agama itu penting, karena kalau mencegah stunting itu dengan mencegah pernikahan dini. Rekomendasi pernikahan itu dari pengadilan agama. Untuk mereka yang menikah, tetapi tidak memenuhi syarat sehat, peran tokoh agama penting. Dia bisa tetap dinikahkan, tapi disarankan jangan hamil dulu,” jelas Hasto.
Program ini mensyaratkan calon pengantin untuk memeriksakan diri tiga bulan sebelum saat pernikahan. Petugas akan mengukur kadar hemoglobin, tinggi badan, berat badan, dan lingkar lengan atas. Data itu kemudian masuk ke aplikasi Elektronik Siap Nikah dan Hamil (Elsimil). Jika calon pengantin tidak bisa mengakses aplikasi tersebut, maka pendamping keluarga, pengurus PKK atau bidan akan melakukannya.
“Kalau hasil datanya bagus bisa menikah. Tidak bagus juga bisa tetap menikah, tetapi yang tidak bagus bisa kita kasih pendampingan supaya anaknya sehat,” ujar Hasto lagi.
Hasto juga menyebut pendidikan kesehatan reproduksi penting diberikan bagi remaja. Sayangnya, ada kesalahpahaman di masyarakat yang menempatkan pendidikan seks, seolah-olah sebagai pendidikan hubungan seks.
Di sisi lain, Indonesia menghadapi angka pernikahan dini yang jumlahnya mengkhawatirkan.
“Selama pandemi ini, kalau angka nikah dini kita mencerminkannya dari orang yang hamil usianya antara 15-19 tahun. Sekarang ini, angkanya 20 per seribu. Setiap seribu pernikahan, ada 20 orang yang nikah dini, itu data terkini di tahun 2021,” kata Hasto.
Pendidikan kesehatan reproduksi penting untuk membuat remaja tidak berani melakukan pernikahan dini. Setidaknya, dengan pendidikan itu mereka tahu tentang risikonya, seperti kanker leher rahim dan stunting. Untuk kanker leher rahim, jelas Hasto, Indonesia ada di urutan kedua dunia. Sayangnya sampai sekarang, pendidikan kesehatan reproduksi itu belum diberikan secara terstruktur di sekolah.
Proyek Percontohan di Daerah
Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta menjadi proyek percontohan untuk program ini. Kabupaten ini dinilai memiliki komitmen yang cukup, karena memiliki lebih dari 1.200 anggota tim pendamping keluarga.
Bantul juga dinilai berhasil menekan angka stunting, dengan angka 14 persen yang saat ini dimiliki. Kabupaten ini juga menganggarkan Rp50 juta untuk setiap dusun guna penurunan stunting. Pemerintah pusat melihat komitmen pemerintah setempat tinggi.
Bupati Bantul, Abdul Halim Muslik mengatakan wilayah yang dipimpinnya memiliki 933 Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu). Dengan suntikan dana Rp50 juta yang diberikan setiap tahun, Posyandu memiliki peran vital
“Posyandu-posyandu di pedukuhan harus mengetahui secara pasti, berapa orang hamil di dusunnya. Berapa yang berisiko tinggi dan dikoordinasikan dengan Puskesmas. Data itu sudah ada,” ujar Halim.
Karena ada kecenderungan masyarakat di pedesaan kurang memiliki informasi tentang perawatan kandungan, maka Posyandu berperan untuk memandunya. Posyandu juga akan berperan dalam sosialisasi program pemeriksaan calon pengantin, dengan meminta mereka yang akan menikah untuk mengikuti program itu tiga bulan sebelumnya.
“Saya kira dukungan Posyandu dan sosialisasi ini bisa kita lakukan secara masif,” tambah Halim.
Di Indonesia sendiri total ada 600 ribu anggota tim pendamping keluarga untuk mendampingi 2 juta pasangan yang menikah setiap tahunnya.
Program Penting Pemerintah
BKKBN mencatat sejumlah angka yang harus diperhatikan terkait hubungan pernikahan dini dan risikonya. Angka remaja putri yang mengalami kurang darah atau anemia sebelum menikah mencapai 37, sementara pada ibu hamil angkanya 48 persen. Anemia membuat pertumbuhan janin di kandungan tidak subur dan menyebabkan stunting.
Pemerintah menetapkan target mengurangi angka stunting hingga di angka 14 persen pada 2024. Pada 2019, angkanya masih 27,6 persen dan tahun 2021 ada di angka 24,4 persen. Indonesia diharapkan bebas stunting pada 2030, jika penurunan sekitar 2-3 persen terpenuhi setiap tahunnya.
Program ini penting karena generasi stunting memiliki daya intelektual rendah, kurang daya ingatnya dan sulit bernalar logika. Pada usia 45 tahun, penderita stunting akan mengalami kegemukan di tengah atau sentra obesitas, penyebab mudah sakit, terkena kencing manis, stroke dan darah tinggi.
Program ini juga akan mengukur lingkar lengan atas dengan batas 23,5 cm sebagai angka ideal untuk menikah. Perempuan dengan lingkar lengan atas di bawah angka itu, disarankan untuk menunda menikah, atau tetap menikah tetapi melakukan perbaikan pemenuhan gizi agar anaknya kelak sehat.
Pernikahan dini juga membuka kemungkinan kematian lebih besar. Menurut Hasto, yang juga seorang dokter spesialis kandungan, remaja yang menikah di usia 16-17 tahun, ukuran panggulnya belum mencapai 10 cm. Padahal ukuran kepala bayi rata-rata sebesar itu, sehingga mereka akan mengalami kesulitan melahirkan, yang mengakibatkan kematian bayi, kematian ibu melahirkan atau keduanya. [VOA]